Prinsip-Prinsip Pengupahan dalam Ekonomi Islam

Prinsip-Prinsip Pengupahan dalam Ekonomi Islam

Dalam perspektif Ekonomi Islam, prinsip pengupahan terbagi atas dua bagian, yakni sebagai berikut :

  • Adil
    Dalam kamus besar bahasa Indonesia, keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak, berpegang kepada kebenaran, proporsional. Sedangkan kata keadilan dalam bahasa arab berasal dari kata “‘adala”, yang dalam Al-Quran terkadang disebutkan dalam bentuk perintah ataupun dalam bentuk kalimat berita. Kata ‘adl di dalam al-Qur’an memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Menurut M. Quraish Shihab, paling tidak ada empat makna keadilan, yakni :

    1. Pertama, ‘adl dalam arti ”sama”, pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam al-Qur’an, antara lain pada Q.S. an-Nisa’ (4): 3, 58, dan 129; Q.S. asySyura’ (42): 15; Q.S. al-Ma’idah (5): 8; Q.S. an-Nahl (16): 76, 90; Q.S. al-Hujura’t (49): 9. Kata ‘adl dengan arti ”sama (persamaan)” pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam hak. Di dalam Q.S. an-Nisa (4): 58, ditegaskan, “Wa iza hakamtum baina annasi an tahkumu bi al-‘ad”l yang artinya “Apabila (kamu) menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”.
      Kata ‘adl di dalam ayat ini diartikan “sama”, yang mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Ini berimplikasi bahwa manusia mempunyai hak yang sama oleh karena mereka samasama manusia. Berdasarkan hal itu, keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
    2. Kedua, kata ‘adl dalam arti “seimbang”. Pengertian ini ditemukan dalam Q.S. al-Ma’idah (5): 95 dan Q.S. al-Infitha’r (82): 7. Pada ayat yang disebutkan terakhir, misalnya dinyatakan, “Alladzi’ khalaqaka fasawwa’ka fa-‘adalaka”, yang artinya: “Allah yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang”.
      Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Sehingga jika ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Di samping itu, makna keadilan di dalam pengertian “keseimbangan”, menimbulkan keyakinan bahwa Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan serta mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Serta mengantarkan pemahaman pada pengertian “Keadilan Ilahi”
    3. Ketiga, kata ‘adl dalam arti “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya”. Pengertian inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawan dari pengertian ini adalah “kezaliman”, yakni pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian ini disebutkan di dalam Q.S. al-An‘am (6): 152, “Wa Iza qultum fa‘dilu walau kana za qurba”, yang artinya: “Dan apabila kamu berkata maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu)”. Pengertian ‘adl seperti ini melahirkan keadilan sosial.
    4. Keempat, kata ‘adl yang diartikan dengan “yang dinisbahkan kepada Allah”. ‘Adl di sini berarti “memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu”.



Keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Allah memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya. Q.S. Ali‘Imrân (3): 18, menunjukkan bahwa Allah SWT sebagai “Qa’iman bi al-qist” yang artinya “yang menegakkan keadilan”

Kata ‘adl juga digunakan untuk menyebutkan suatu keadaan yang lurus, karena secara khusus kata tersebut bermakna penetapan hukum dengan benar. Ini sesuai dengan tujuan pokok dari syari’ah yakni bertujuan untuk menegakkan perdamaian di muka bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang. Berdasarkan berbagai makna kata adil tersebut diatas, adil dalam penentuan upah dalam ekonomi Islam makna adil dalam ketetapan upah dapat diartikan, yakni :



  1. Adil bermakna Jelas dan Transparan

    Makna jelas dan transparan dapat dilihat pada hadis Nabi SAW bersabda :
    عن ب َص الن ب لى ِ ّللا َعنهُ, أ ن ي َر ُ ال ُخ ِضى َس دِري أ ِعيِد َ َللا ي ِه َعل م َ َم َج َر قَا : ن َو َس ل ل َر ِا ستَأ ا مى ِج ي يُ َس اَ لهُ تُهُ ج َر فَل َ ا ُ ال ر َز ). َعبدُ اق َرَو .(
    “Dari Abi Sa’id Al-Khudri r.a. bahwasannya Nabi SAW telah bersabda: Barang siapa menyewa seorang ajir, maka hendaklah disebutkan tentang upah (pembayarannya)”. (HR. Abdul Razak).

    Dari hadits di atas, dapat diketahui bahwa prinsip utama keadilan terletak pada kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen melakukannya. Akad dalam perburuhan adalah akad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha.
    Dalam hal tatacata pembayaran upah, Rasulullah SAW bersabda :
    ُ َف أ َع َرقهُِ. ( َرواهُ بُو يَ ِجي اَ َو َجه يَ ع َل, إ ب ُن َر , انِي َما رمِدى َوال َطب َو , التّ (
    “Berilah upah atau jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringatnya“. (HR. Abu Ya’la, Ibnu Majah, Imam Thabrani dan Tarmidzi).

  2. Adil bermakna proporsional

    Makna adil sebagai suatu hal yang proporsional, dapat dilihat dari prinsip dasar yang digunakan Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin adalah pertengahan, moderat dalam penentuan upah pegawai, tidak berlebihan ataupun terlalu sedikit (proporsional). Tujuan utamanya agar mereka mampu memenuhi segala kebutuhan pokok mereka. Dalam Al-Qur’an adil bermakna proporsional dijelaskan dalam QS. An-Najm ayat 39.23 “Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm : 39).
    Ayat ini menegaskan bahwa pekerjaan seseorang akan dibalas menurut berat pekerjaannya itu.



  • Layak

    Jika adil berbicara tentang kejelasan, transparansi serta proposionalitas ditinjau dari berat bekerjanya, maka layak berhubungan dengan besaran yang diterima. Adapun makna layak dalam pandangan Ekonomi Islam yakni :

  1. Layak bermakna cukup pangan, sandang, maupun papan.
    Jika ditinjau dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah SAW bersabda :
    “Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).Dari hadits diatas, dapat diketahui bahwa kelayakan upah yang diterima oleh pekerja dilihat dari tiga aspek yaitu: pangan (makanan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal).
  2. Layak
    Upah yang layak merupakan upah yang harus sesuai dengan harga pasar tenaga kerja sehingga pekerja tidak tereksploitasi sepihak. Sebagaimana yang terdapat dalam al-qur’an sebagai berikut:
    “Dan janganlah kamu merugikan manusia akan hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.”(QS. AsySyua’ra 26 : 183).Ayat di atas bermakna janganlah seseorang merugikan orang lain, dengan cara mengurangi hakhak yang seharusnya diperoleh. Dalam pengertian yang lebih jauh, hak-hak dalam upah berarti janganlah mempekerjakan upah seseorang hingga jauh dibawah upah yang biasanya diberikan.
    Jadi, upah yang adil harus diberikan secara jelas, transparan dan proporsional. Layak bermakna bahwa upah yang diberikan harus mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan serta tidak jauh berada dibawah pasaran. Aturan upah ini perlu didudukkan pada posisinya, agar memudahkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim dalam mengimplementasikan manajemen syariah dalam pengupahan para karyawannya di perusahan.
  3. Tingkatan Upah dalam Ekonomi Islam
    Tingkat upah yang ditetapkan haruslah berdasarkan pada rasa keadilan, upah ditetapkan melalui negosiasi antara pekerja, majikan dan negara. Dalam pengambilan keputusan tentang upah maka kepentingan mencari nafkah dan majikan akan dipertimbangkan secara adil. Untuk itu menjadi tanggung jawab negara untuk mempertimbangkan tingkat upah yang ditetapkan agar tidak terlalu rendah sehingga tidak mencukupi biaya kebutuhan pokok para pekerja juga tidak terlalu tinggi sehingga majikan kehilangan bagiannya yang sesungguhnya dari hasil kerjasama itu.
    Agar dapat menetapkan suatu tingkatan upah yang cukup, negara perlu menetapkan terlebih dahulu tingkat upah minimum dengan mempertimbangkan perubahan kebutuhan dari pekerja golongan bawah dan dalam keadaan apapun tingkat upah ini akan jatuh. Tingkat minimum ini sewaktu-waktu harus ditinjau kembali untuk melakukan penyesuaian berdasarkan perubahan tingkat harga dan biaya hidup. Tingkat maksimumnya tentunya akan ditetapkan berdasarkan sumbangan tenaganya dan akan sangat bervariasi.

 

Lihat juga pembahasan terkait lainnya : 

 



 

 

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating / 5. Vote count:

No votes so far! Be the first to rate this post.

As you found this post useful...

Follow us on social media!

Ekonomi